Selasa, April 06, 2010

Tetanggaku Cerminku

Lingkungan di sekitar rumah kami cukup padat. Dengan tetangga kiri jarak antar dinding cuma dua jengkal, dengan tetangga sebelah kanan berbagi dinding. Dengan tetangga seberang rumah, cuma dipisahkan jalan lorong yang cukup dilewati dua motor.
Berjarak lima meter saja dari rumah, ada bedeng lima pintu berderet, berdinding kayu. Diisi oleh dua orang tukang jamu perempuan, tiga orang penjual es goreng bersepeda, satu orang penjual tekwan bermotor.
Pagi-pagi, mulai pukul 4 subuh, suara mesin pemarut kelapa terdengar, tak sampai 30 menit lalu hening, namun begitu aku yakin mereka sedang bekerja menyiapkan hari. Menjelang subuh lewat, suara gludak gluduk balok es yang dipukul dan diserakkan ke dalam kotak segi empat yang cukup lebar untuk menyimpan puluhan es goreng. Pukul enam, sepeda-sepeda mereka sudah berjejer sampai ke depan rumah ku, bersiap untuk berangkat. Siang hari, tukang jamu sudah pulang dengan botol-botol kosong. Sore mereka berangkat lagi menjual jamu.
Tukang es goreng dan penjual tekwan pulang menjelang sore.
Pukul 9 malam, rumah-rumah mereka rata-rata sudah hening.

Setiap pagi ritual dan kebisingan yang sama.
Ketika aku bangun di subuh hari, mendengar mereka, aku berpikir.
Kerap kali setiap pagi, aku diingatkan bahwa mereka bekerja keras untuk sesuap nasi.

Pagi kemarin, aku melihat dua orang penjual itu sedang menyetel sepeda dan mengatur kotak dagangannya. Umur mereka masih muda, dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.
Aku tercenung, dan teringat tadi malam, aku dan suamiku berteriak keras, memaki, ketika menyaksikan tontonan sepakbola di televisi.
Kami menikmati hidup dan menghambur-hamburkan kenikmatan itu, sementara mereka orang-orang pendiam, yang menyuarakan harapan dan impian serta melepas penat, dengan bermain gitar kopong, itu pun sesekali.
Apa yang mereka pikirkan ketika mendengar teriakan kami? Aku tidak tahu, tapi itu membuatku sedih..